Cahaya
remang-remang dari sebuah lampu minyak yang tergantung di rumahku mulai
terlihat oleh mataku yang baru saja terbuka, terdengar suara ayam berkokok yang
menandakan hari sudah fajar. Seketika aku bangun dari tempat tidurku yang
selalu membuat badanku pegal-pegal sehabis tidur, bagaimana tidak tempat
tidurku sangat keras bahkan tempat tidurku tidak bisa dibilang sebagai tempat
tidur yang layak. Bau harum kayu bakar tercium oleh hidungku yang berarti ibu
sedang memasak sarapan untuk keluargaku. Aku menghampiri ibu yang berada di
dapur, dapur yang kotor dan menjijikan untuk orang-orang yang memiliki dapur
bersih, aku sendiri merasa iri dengan teman-teman sekolahku yang memiliki dapur
indah dan perlengkapan masak yang komplit dengan gas sebagai bahan bakarnya. Walaupun
berbeda tetap saja rumah adalah tempat terindah yang kumiliki karena aku
memiliki segalanya di dalam yaitu, ayah, ibu, dan adik tersayangku yang masih
menginjak kelas satu SD.
“Ibu, ada yang bisa aku bantu?”
Tanyaku pada ibu saat aku memasuki dapur. Ibu hanya tersenyum mendengar
pertanyaanku dan itulah yang selalu ibu lakukan setiap aku ingin membantunya.
“Tidak perlu, Nak, lebih baik kamu
sholat subuh dulu kemudian mandi. Ibu tidak ingin Kamu terlambat.” Ibu masih
sibuk dengan masakkannya. Aku mengikuti nasihat ibu untuk sholat kemudian
mandi.
Sebelum
aku masuk ke kamar mandi, aku melihat bapak, bapak menggunakan pakaian yang
biasa ia pakai yaitu, pakaian yang berdominan warna oranye. Bapakku adalah seorang
pembersih jalan, bisa kubilang pembersih jalan yang sangaaat baik. Tahu kenapa?
Setiap hari ia berangkat saat fajar menyingsing dan kembali saat senja datang,
ia hanya membawa sapu lidi berukuran besar yang biasa ia pakai untuk
membersihkan jalanan, menurutku pekerjaan bapak sangat mulia karena tanpa bapak
mungkin jalanan tidak akan bersih. Namun, walaupun begitu aku sering merasa
malu dengan teman-temanku, mereka selalu mengejekku dan mengataiku seorang anak
pembersih jalan.
“Bapak,
sudah mau berangkat ya?” Tanyaku saat berpapasan dengan bapak.
“Iya,
Kinar, bapak harus berangkat sekarang.” Jawab bapak sambil tersenyum padaku,
senyum yang selalu membuatku tenang.
“Bapak
gak mau sarapan dulu?” Tanyaku lagi sambil melirik ke arah dapur.
“Tadi,
bapak sudah sarapan duluan menggunakan lauk kemarin sore.” Kata bapak sambil
mengusap-usap perutnya.
Bapak
bilang sudah makan lauk kemarin sore, tapi lauk kemarin sore hanya tahu, dan
itu tinggal tersisa setengahnya. Aku tahu, di balik wajahnya yang terlihat
senang itu ia menahan lapar, aku tahu itu.
“Bapak
berangkat dulu ya, Nak.” Kata bapak akhirnya. Bapak pun pergi setelah aku
berpamitan dengannya.
Selesai
mandi, aku membereskan buku-buku yang harus kubawa ke sekolah. Aku sudah
menyiapkan semua bukunya dan sekarang aku harus mencari kantung plastik untuk
menaruh buku-buku itu. Aku tidak memiliki tas, beberapa hari yang lalu tasku
jebol karena sudah terlalu tua, sebenarnya bapak ingin membelikan yang baru
untukku tapi aku menolaknya karena aku tahu bapak lebih membutuhkan uang itu
walaupun aku merasa malu dengan teman-temanku.
Semua
sudah siap, sekarang saatnya aku sarapan bersama ibu dan adikku. Hanya nasi dan
tempe yang bisa aku makan sekarang, ibu belum membeli lauk untuk hari ini.
Selesai saarapan, aku dan adikku keluar dari rumah kecilku dan menggunakan
sepatu kami yang sudah berubah warna menjadi lebih kusam. Kupakai sepatuku,
namun aku merasakan sesuatu yang janggal ketika berjalan, saat aku melihat
sepatuku mulut buaya sedang menganga dengan lebar dengan lidah yang panjang,
sepatuku menganga dan terlihat jari-jariku yang dilapisi kaus kaki berwarna
putih.
“Ada
apa, Kinar?” Tanya ibu padaku. Pasti ibu melihat sesuatu yang aneh pada
sepatuku, sejujurnya aku tidak ingin ibu melihatnya. “Sepatumu rusak, sepertinya
sudah tidak bisa diperbaiki. Nanti, kita minta bapak belikan sepatu baru
untukmu ya.” Kata ibu. Kalimat ibu yang terkahir membuatku langsung menggeleng.
“Gak
perlu, Bu, gak apa-apa kok nanti aku sol aja.” Kataku akhirnya, aku dan adikku
pun pamit pada ibu.
Sampai
di sekolah, benar saja teman-temanku melihat sepatuku dengan tatapan yang
merendahkan. Malu bahkan sangat malu. Teman-teman mulai mengejekku dan
mengataiku. Aku tidak kuat, aku merasa malu, dan dada bagian kiriku terasa
ngilu untuk sesaat kemudian air mataku keluar begitu saja, aku mencoba
menahannya tapi sangat sulit, sulit sekali. Akhirnya aku langsung berlari
menuju kelasku lalu menelungkupkan kepalaku di atas meja, tangisku menjadi-jadi
sampai guru yang mengajar kelasku datang aku baru bisa menghentikan tangisku.
“Anak-anak,
ibu ingin memberikan pengumuman pada kalian. Harap diam semuanya!” Ibu guru
mengetuk-ngetuk papan tulis menggunakan penghapus khusus papan tulis. “Dalam
memperingati bulan bahasa, sekolah kita mengadakan lomba yaitu, untuk kelas
satu sampai kelas tiga SD adalah membawakan cerita lucu dan untuk kelas empat
sampai enam SD, terutama kalian kelas lima adalah membacakan puisi. Puisi yang
kalian bacakan bertema tentang lingkungan, kalian bisa mengambil dari internet
ataupun membuatnya sendiri.” Selesai membacakan pengumuman, ibu guru langsung
pergi karena tepat saat ia selesai berbicara bel tanda pulang berbunyi.
Apa
yang harus aku bacakan saat bulan bahasa nanti? Aku tidak mungkin pergi ke
warnet, uang jajan saja tidak punya. Tinggal tersisa waktu sembilan hari lagi dan aku belum menyiapkan apapun. Tentang
lingkungan? Aha! Bagaimana jika aku bertanya pada bapak sepulang sekolah nanti?
Pulang
sekolah aku pun pergi ke tempat bapak bekerja, tentu saja di pinggir jalan.
Saat aku sampai, aku tidak langsung menemui bapak tapi aku melihatnya dari
balik pohon, dari balik pohon aku dapat melihat bagaimana bapak bekerja, ia
bekerja dengan wajah yang selalu ceria walaupun keringat bercucuran di sekitar
wajahnya. Bapak sedang menyapu jalanan yang dipenuhi dengan daun-daun kering
yang bercampur dengan sampah plastik. Lama aku memperhatikan bapak, akhirnya
aku menghampirinya.
“Bapak!”
Teriakku saat aku sampai di hadapannya.
“Eh,
Kamu, Kinar, tumben Kamu ke sini.” Kata bapak, ia menghentikan pekerjaannya
menyapu jalan.
“Memangnya
aku gak boleh ke sini?” Tanyaku bercanda.
“Boleh-boleh,
ada apa?” Tanya Bapak.
“Aku
ingin meminta pendapat Bapak. Aku ada tugas bahasa Indonesia membacakan puisi
di bulan bahasa temanya mengenai lingkungan kata guruku, aku bisa mencarinya di
internet tapi aku tidak mau, aku ingin mencoba membuat sendiri, jadi gimana
Pak? Bantuin aku yaaa…” Kataku membujuk.
“Tentu
saja.” Kata bapak. Tiba-tiba sapu lidi yang dipakai bapak jatuh tepat di atas
sepatu bututku dan membuat kakiku terasa sakit sehingga membuatku berteriak.
Tentu saja hal itu terlihat oleh bapak, bapak pun langsung sigap mengambil sapu
lidinya untuk memindahkan gagangnya dari kakiku. “Sepatu Kamu rusak?” Tanya
bapak tiba-tiba.
Oops…
aku baru ingat sepatuku kan rusak.”Eh, iya, pak.” Jawabku sedikti terbata.
“Yasudah,
nanti kita beli sepatu baru ya.” Kata bapak, tentu saja aku langsung
menggeleng. Aku tidak ingin uang bapak dipakai untuk membeli sepatu baru
untukku. “Loh, kenapa?” Tanya bapak.
“Gak
apa-apa, kok, Pak.” Aku pun langsung mengubah topik pembicaraan. “Sekarang,
Bapak cerita aja tentang lingkungan dan segala yang berhubungan dengan
lingkungan.”
“Baiklah.”
Bapak pun menceritakan pekerjaannya sebagai pembersih jalan, bagaimana ia
membersihkan jalan, juga membedakan sampah organik dan non organik. “Banyak
masyarakat yang sadar akibat dari membuang sampah sembarangan, tapi mereka
malas. Itulah yang menyebabkan di kota-kota besar seperti Jakarta sering
dilanda banjir, nah, untuk itulah makanya bapak selalu mengajarkan Kamu bagaimana
memperlakukan sampah.” Kata bapak panjang lebar, dan aku menyimaknya dengan
baik.
“Apa
pak gubernur tidak bertindak, Pak?” Tanyaku.
“Siapa
bilang? Pak gubernur kita, bapak Fauzi Bowo yang terkenal dengan kumisnya itu,
sudah bertindak.” Kata Bapak sambil menatap sekitar.
“Contohnya
apa?” Tanyaku lagi.
“Pemerintah
sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk segala sesuatu yang berhubungan
dengan sampah ibukota, tapi warga Jakarta lebih mementingkan malas mereka dari
pada kesehatan mereka. Kamu tahu slogan ‘bunaglah sampah pada tempatnya?” Aku
mengangguk. “Bapak kurang setuju!” Kata bapak, aku pun heran. “Bapak lebih
setuju membuang sampah pada tempat sampah.” Aku dan bapak tertawa bersama.
“Bapak
bisa aja.” Kataku. “Oiya, Pak, bagaimana dengan budaya Jakarta?” Tanyaku
berbeda topik.
“Sebenarnya
kebudayaan betawi itu banyak, apalagi Indonesia tapi sayang, anak zaman
sekarang kurang memperhatikan kebudayaannya sendiri mereka lebih suka meniru
budaya asing yang terkadang malah membuat mereka lupa akan waktu mereka. Kapan-kapan,
bapak akan ajak Kamu untuk menonton pertunjukan lenong dan makan kerak telor.”
Kata bapak.
“Yang
benar, Pak?” Tanyaku tidak percaya, aku senang sekali jika bisa melihat
pertunjukan lenong dan makan kerak telor. Bapak mengangguk menjawab
pertanyaanku.
Aku
dan bapak akhirnya pulang bersama karena matahari sudah mulai turun ke arah
barat.
Setiap
hari aku jadi lebih sering pulang bersama bapak karena ingin mendengar
penjelasan bapak mengenai lingkungan dan budaya Jakarta, lama-lama aku menjadi
tertarik dengan lingkungan di sekitarku. Berdasarkan penjelasan bapak, aku tahu
apa yang harus aku tuangkan dalam puisiku, tapi entah kenapa belum pas rasanya.
Tersisa
tiga hari lagi bagiku untuk menyiapkan diri, aku juga sudah tahu apa yang harus
aku bacakan. Hari ini, aku akan ke tempat bapak lagi untuk menujukkan puisi
yang telah aku buat. Aku berjalan dengan tenang dan dengan perasaan gembira
sampai-sampai tidak sengaja sepatu kiriku terbuka dan tertinggal di jalan, aku
pun kembali untuk mengambilnya. Begitu aku berhasil mengambilnya, sebuah mobil
berjalan dengan kencang menuju ke arahku
tiba-tiba terdengar juga suara bapak yang berteriak, tapi aku tidak tahu apa
yang bapak bicarakan, badanku terasa kaku.
Aku
terlempar keluar dari jalanan beraspal begitu saja, seperti ada yang
mendorongku. Saat kesadaranku mulai pulih, aku melihat sesosok lelaki yang
sedang tertidur di jalan beraspal dengan darah yang mengalir. Aku hampiri
laki-laki itu, karena bagaimana pun juga dia telah menolongku bahkan
menyelamatkanku dari maut.
Saat
aku berada di sampingnya… badanku terasa begitu kaku, rasanya hampir sama
seperti saat aku hampir tertabrak, bahkan aku tidak bisa merasakan apapun saat
ini, aliran darahku serasa berhenti, dan air mataku keluar dengan sangat deras.
Aku merasa tidak yakin dengan apa yang aku lihat, apakah… apakah… benar… aku
menangis dengan terisak. Aku langsung memeluk pria itu, tidak peduli darah
membuat bajuku kotor karena bagaimanapun juga ia adalah ayahku.
Tiga hari kemudian
Setelah
kejadian itu, aku merasa sangat terpuruk tapi aku tahu diriku tidak akan maju
jika selalu terpuruk apalagi dengan kenangan masa lalu, itu yang dikatakan
bapak padaku sehari sebelum ia pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Hari
ini adalah saat dimana aku harus membacakan puisi. “Kinara Adiyawati.” Seorang
mc memanggil namaku, dan aku pun harus maju. Aku maju ke atas panggung kemudian
memberi salam dan barulah aku membacakan puisiku.
Ayam berkokok dan
matahari baru muncul dari tempat peristirahatannya
Sebuah senyum hangat
menyapaku
Senyum yang membuat
perasaanku selalu tenang
Ayah, dia ayahku
Ayahku yang bekerja
sebagai seorang pembersih jalan
Pekerjaan yang sering
dianggap pekerjaan rendahan oleh orang-orang
Bahkan terkadang aku
malu untuk mengakuinya
Bahwa ayahku adalah
seorang pembersih jalan
Ejekkan dan celaan
sudah sering aku dengar
Ya, hatiku memang
sakit
Sakit sekali
Tapi, ia telah
mengajarkanku bagaimana aku harus memperlakukan sebuah sampah
Sampah yang sering
orang abaikan
Membedakan sampah,
memperlakukan sampah, dan memanfaatkan sampah
Ia mengajarkanku
semua itu hingga aku mengerti
Hingga aku sadar
Pekerjaan ayahku
sangat mulia
Karena tanpanya
jalanan akan terlihat kotor, bahkan sangat kotor
Aku bangga pada
ayahku, ayahku sang pembersih jalan
19 tahun kemudian
Bagaikan
mimpi, sekarang aku menempati rumah mewah. Sekarang aku memiliki dapur dengan
peralatan yang lengkap dan kompor berbahan bakar gas. Semua yang aku dapatkan
ini berasal dari didikanmu, ayah. Karena ajaranmu padaku mengenai lingkungan
aku dapat menjadi seperti ini, aku dapat maju dengan berbekal ilmu darimu.
Menteri Lingkungan Hidup, sekarang aku mendapat jabatan itu. Sepatu bututku,
tas plastikku, sapu lidimu, dan pakaian oranyemu kini tersimpan di museumku,
semua itu adalah pengingatku akan dirimu. Terimakasih atas didikanmu ayah.
Ini cerpen waktu ikut lomba tingkat JakPus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar