Bukan Saya yang Sebenar-benarnya

Setiap orang punya sisi gelap, sisi terang, sisi kanan, sisi kiri
Tapi mereka nggak punya satu sisi : SISI-pan
Karena SISI-pan hanyalah tambahan

25 Juli 2013

Ayahku Seorang Pembersih Jalan

Cahaya remang-remang dari sebuah lampu minyak yang tergantung di rumahku mulai terlihat oleh mataku yang baru saja terbuka, terdengar suara ayam berkokok yang menandakan hari sudah fajar. Seketika aku bangun dari tempat tidurku yang selalu membuat badanku pegal-pegal sehabis tidur, bagaimana tidak tempat tidurku sangat keras bahkan tempat tidurku tidak bisa dibilang sebagai tempat tidur yang layak. Bau harum kayu bakar tercium oleh hidungku yang berarti ibu sedang memasak sarapan untuk keluargaku. Aku menghampiri ibu yang berada di dapur, dapur yang kotor dan menjijikan untuk orang-orang yang memiliki dapur bersih, aku sendiri merasa iri dengan teman-teman sekolahku yang memiliki dapur indah dan perlengkapan masak yang komplit dengan gas sebagai bahan bakarnya. Walaupun berbeda tetap saja rumah adalah tempat terindah yang kumiliki karena aku memiliki segalanya di dalam yaitu, ayah, ibu, dan adik tersayangku yang masih menginjak kelas satu SD.
            “Ibu, ada yang bisa aku bantu?” Tanyaku pada ibu saat aku memasuki dapur. Ibu hanya tersenyum mendengar pertanyaanku dan itulah yang selalu ibu lakukan setiap aku ingin membantunya.
            “Tidak perlu, Nak, lebih baik kamu sholat subuh dulu kemudian mandi. Ibu tidak ingin Kamu terlambat.” Ibu masih sibuk dengan masakkannya. Aku mengikuti nasihat ibu untuk sholat kemudian mandi.
Sebelum aku masuk ke kamar mandi, aku melihat bapak, bapak menggunakan pakaian yang biasa ia pakai yaitu, pakaian yang berdominan warna oranye. Bapakku adalah seorang pembersih jalan, bisa kubilang pembersih jalan yang sangaaat baik. Tahu kenapa? Setiap hari ia berangkat saat fajar menyingsing dan kembali saat senja datang, ia hanya membawa sapu lidi berukuran besar yang biasa ia pakai untuk membersihkan jalanan, menurutku pekerjaan bapak sangat mulia karena tanpa bapak mungkin jalanan tidak akan bersih. Namun, walaupun begitu aku sering merasa malu dengan teman-temanku, mereka selalu mengejekku dan mengataiku seorang anak pembersih jalan.
“Bapak, sudah mau berangkat ya?” Tanyaku saat berpapasan dengan bapak.
“Iya, Kinar, bapak harus berangkat sekarang.” Jawab bapak sambil tersenyum padaku, senyum yang selalu membuatku tenang.
“Bapak gak mau sarapan dulu?” Tanyaku lagi sambil melirik ke arah dapur.
“Tadi, bapak sudah sarapan duluan menggunakan lauk kemarin sore.” Kata bapak sambil mengusap-usap perutnya.
Bapak bilang sudah makan lauk kemarin sore, tapi lauk kemarin sore hanya tahu, dan itu tinggal tersisa setengahnya. Aku tahu, di balik wajahnya yang terlihat senang itu ia menahan lapar, aku tahu itu.
“Bapak berangkat dulu ya, Nak.” Kata bapak akhirnya. Bapak pun pergi setelah aku berpamitan dengannya.
Selesai mandi, aku membereskan buku-buku yang harus kubawa ke sekolah. Aku sudah menyiapkan semua bukunya dan sekarang aku harus mencari kantung plastik untuk menaruh buku-buku itu. Aku tidak memiliki tas, beberapa hari yang lalu tasku jebol karena sudah terlalu tua, sebenarnya bapak ingin membelikan yang baru untukku tapi aku menolaknya karena aku tahu bapak lebih membutuhkan uang itu walaupun aku merasa malu dengan teman-temanku.
Semua sudah siap, sekarang saatnya aku sarapan bersama ibu dan adikku. Hanya nasi dan tempe yang bisa aku makan sekarang, ibu belum membeli lauk untuk hari ini. Selesai saarapan, aku dan adikku keluar dari rumah kecilku dan menggunakan sepatu kami yang sudah berubah warna menjadi lebih kusam. Kupakai sepatuku, namun aku merasakan sesuatu yang janggal ketika berjalan, saat aku melihat sepatuku mulut buaya sedang menganga dengan lebar dengan lidah yang panjang, sepatuku menganga dan terlihat jari-jariku yang dilapisi kaus kaki berwarna putih.
“Ada apa, Kinar?” Tanya ibu padaku. Pasti ibu melihat sesuatu yang aneh pada sepatuku, sejujurnya aku tidak ingin ibu melihatnya. “Sepatumu rusak, sepertinya sudah tidak bisa diperbaiki. Nanti, kita minta bapak belikan sepatu baru untukmu ya.” Kata ibu. Kalimat ibu yang terkahir membuatku langsung menggeleng.
“Gak perlu, Bu, gak apa-apa kok nanti aku sol aja.” Kataku akhirnya, aku dan adikku pun pamit pada ibu.
Sampai di sekolah, benar saja teman-temanku melihat sepatuku dengan tatapan yang merendahkan. Malu bahkan sangat malu. Teman-teman mulai mengejekku dan mengataiku. Aku tidak kuat, aku merasa malu, dan dada bagian kiriku terasa ngilu untuk sesaat kemudian air mataku keluar begitu saja, aku mencoba menahannya tapi sangat sulit, sulit sekali. Akhirnya aku langsung berlari menuju kelasku lalu menelungkupkan kepalaku di atas meja, tangisku menjadi-jadi sampai guru yang mengajar kelasku datang aku baru bisa menghentikan tangisku.
“Anak-anak, ibu ingin memberikan pengumuman pada kalian. Harap diam semuanya!” Ibu guru mengetuk-ngetuk papan tulis menggunakan penghapus khusus papan tulis. “Dalam memperingati bulan bahasa, sekolah kita mengadakan lomba yaitu, untuk kelas satu sampai kelas tiga SD adalah membawakan cerita lucu dan untuk kelas empat sampai enam SD, terutama kalian kelas lima adalah membacakan puisi. Puisi yang kalian bacakan bertema tentang lingkungan, kalian bisa mengambil dari internet ataupun membuatnya sendiri.” Selesai membacakan pengumuman, ibu guru langsung pergi karena tepat saat ia selesai berbicara bel tanda pulang berbunyi.
Apa yang harus aku bacakan saat bulan bahasa nanti? Aku tidak mungkin pergi ke warnet, uang jajan saja tidak punya. Tinggal tersisa waktu sembilan hari  lagi dan aku belum menyiapkan apapun. Tentang lingkungan? Aha! Bagaimana jika aku bertanya pada bapak sepulang sekolah nanti?
Pulang sekolah aku pun pergi ke tempat bapak bekerja, tentu saja di pinggir jalan. Saat aku sampai, aku tidak langsung menemui bapak tapi aku melihatnya dari balik pohon, dari balik pohon aku dapat melihat bagaimana bapak bekerja, ia bekerja dengan wajah yang selalu ceria walaupun keringat bercucuran di sekitar wajahnya. Bapak sedang menyapu jalanan yang dipenuhi dengan daun-daun kering yang bercampur dengan sampah plastik. Lama aku memperhatikan bapak, akhirnya aku menghampirinya.
“Bapak!” Teriakku saat aku sampai di hadapannya.
“Eh, Kamu, Kinar, tumben Kamu ke sini.” Kata bapak, ia menghentikan pekerjaannya menyapu jalan.
“Memangnya aku gak boleh ke sini?” Tanyaku bercanda.
“Boleh-boleh, ada apa?” Tanya Bapak.
“Aku ingin meminta pendapat Bapak. Aku ada tugas bahasa Indonesia membacakan puisi di bulan bahasa temanya mengenai lingkungan kata guruku, aku bisa mencarinya di internet tapi aku tidak mau, aku ingin mencoba membuat sendiri, jadi gimana Pak? Bantuin aku yaaa…” Kataku membujuk.
“Tentu saja.” Kata bapak. Tiba-tiba sapu lidi yang dipakai bapak jatuh tepat di atas sepatu bututku dan membuat kakiku terasa sakit sehingga membuatku berteriak. Tentu saja hal itu terlihat oleh bapak, bapak pun langsung sigap mengambil sapu lidinya untuk memindahkan gagangnya dari kakiku. “Sepatu Kamu rusak?” Tanya bapak tiba-tiba.
Oops… aku baru ingat sepatuku kan rusak.”Eh, iya, pak.” Jawabku sedikti terbata.
“Yasudah, nanti kita beli sepatu baru ya.” Kata bapak, tentu saja aku langsung menggeleng. Aku tidak ingin uang bapak dipakai untuk membeli sepatu baru untukku. “Loh, kenapa?” Tanya bapak.
“Gak apa-apa, kok, Pak.” Aku pun langsung mengubah topik pembicaraan. “Sekarang, Bapak cerita aja tentang lingkungan dan segala yang berhubungan dengan lingkungan.”
“Baiklah.” Bapak pun menceritakan pekerjaannya sebagai pembersih jalan, bagaimana ia membersihkan jalan, juga membedakan sampah organik dan non organik. “Banyak masyarakat yang sadar akibat dari membuang sampah sembarangan, tapi mereka malas. Itulah yang menyebabkan di kota-kota besar seperti Jakarta sering dilanda banjir, nah, untuk itulah makanya bapak selalu mengajarkan Kamu bagaimana memperlakukan sampah.” Kata bapak panjang lebar, dan aku menyimaknya dengan baik.
“Apa pak gubernur tidak bertindak, Pak?” Tanyaku.
“Siapa bilang? Pak gubernur kita, bapak Fauzi Bowo yang terkenal dengan kumisnya itu, sudah bertindak.” Kata Bapak sambil menatap sekitar.
“Contohnya apa?” Tanyaku lagi.
“Pemerintah sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan sampah ibukota, tapi warga Jakarta lebih mementingkan malas mereka dari pada kesehatan mereka. Kamu tahu slogan ‘bunaglah sampah pada tempatnya?” Aku mengangguk. “Bapak kurang setuju!” Kata bapak, aku pun heran. “Bapak lebih setuju membuang sampah pada tempat sampah.” Aku dan bapak tertawa bersama.
“Bapak bisa aja.” Kataku. “Oiya, Pak, bagaimana dengan budaya Jakarta?” Tanyaku berbeda topik.
“Sebenarnya kebudayaan betawi itu banyak, apalagi Indonesia tapi sayang, anak zaman sekarang kurang memperhatikan kebudayaannya sendiri mereka lebih suka meniru budaya asing yang terkadang malah membuat mereka lupa akan waktu mereka. Kapan-kapan, bapak akan ajak Kamu untuk menonton pertunjukan lenong dan makan kerak telor.” Kata bapak.
“Yang benar, Pak?” Tanyaku tidak percaya, aku senang sekali jika bisa melihat pertunjukan lenong dan makan kerak telor. Bapak mengangguk menjawab pertanyaanku.
Aku dan bapak akhirnya pulang bersama karena matahari sudah mulai turun ke arah barat.
Setiap hari aku jadi lebih sering pulang bersama bapak karena ingin mendengar penjelasan bapak mengenai lingkungan dan budaya Jakarta, lama-lama aku menjadi tertarik dengan lingkungan di sekitarku. Berdasarkan penjelasan bapak, aku tahu apa yang harus aku tuangkan dalam puisiku, tapi entah kenapa belum pas rasanya.
Tersisa tiga hari lagi bagiku untuk menyiapkan diri, aku juga sudah tahu apa yang harus aku bacakan. Hari ini, aku akan ke tempat bapak lagi untuk menujukkan puisi yang telah aku buat. Aku berjalan dengan tenang dan dengan perasaan gembira sampai-sampai tidak sengaja sepatu kiriku terbuka dan tertinggal di jalan, aku pun kembali untuk mengambilnya. Begitu aku berhasil mengambilnya, sebuah mobil berjalan dengan kencang menuju  ke arahku tiba-tiba terdengar juga suara bapak yang berteriak, tapi aku tidak tahu apa yang bapak bicarakan, badanku terasa kaku.
Aku terlempar keluar dari jalanan beraspal begitu saja, seperti ada yang mendorongku. Saat kesadaranku mulai pulih, aku melihat sesosok lelaki yang sedang tertidur di jalan beraspal dengan darah yang mengalir. Aku hampiri laki-laki itu, karena bagaimana pun juga dia telah menolongku bahkan menyelamatkanku dari maut.
Saat aku berada di sampingnya… badanku terasa begitu kaku, rasanya hampir sama seperti saat aku hampir tertabrak, bahkan aku tidak bisa merasakan apapun saat ini, aliran darahku serasa berhenti, dan air mataku keluar dengan sangat deras. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang aku lihat, apakah… apakah… benar… aku menangis dengan terisak. Aku langsung memeluk pria itu, tidak peduli darah membuat bajuku kotor karena bagaimanapun juga ia adalah ayahku.
Tiga hari kemudian
Setelah kejadian itu, aku merasa sangat terpuruk tapi aku tahu diriku tidak akan maju jika selalu terpuruk apalagi dengan kenangan masa lalu, itu yang dikatakan bapak padaku sehari sebelum ia pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Hari ini adalah saat dimana aku harus membacakan puisi. “Kinara Adiyawati.” Seorang mc memanggil namaku, dan aku pun harus maju. Aku maju ke atas panggung kemudian memberi salam dan barulah aku membacakan puisiku.
Ayam berkokok dan matahari baru muncul dari tempat peristirahatannya
Sebuah senyum hangat menyapaku
Senyum yang membuat perasaanku selalu tenang
Ayah, dia ayahku
Ayahku yang bekerja sebagai seorang pembersih jalan
Pekerjaan yang sering dianggap pekerjaan rendahan oleh orang-orang
Bahkan terkadang aku malu untuk mengakuinya
Bahwa ayahku adalah seorang pembersih jalan
Ejekkan dan celaan sudah sering aku dengar
Ya, hatiku memang sakit
Sakit sekali
Tapi, ia telah mengajarkanku bagaimana aku harus memperlakukan sebuah sampah
Sampah yang sering orang abaikan
Membedakan sampah, memperlakukan sampah, dan memanfaatkan sampah
Ia mengajarkanku semua itu hingga aku mengerti
Hingga aku sadar
Pekerjaan ayahku sangat mulia
Karena tanpanya jalanan akan terlihat kotor, bahkan sangat kotor
Aku bangga pada ayahku, ayahku sang pembersih jalan


19 tahun kemudian

Bagaikan mimpi, sekarang aku menempati rumah mewah. Sekarang aku memiliki dapur dengan peralatan yang lengkap dan kompor berbahan bakar gas. Semua yang aku dapatkan ini berasal dari didikanmu, ayah. Karena ajaranmu padaku mengenai lingkungan aku dapat menjadi seperti ini, aku dapat maju dengan berbekal ilmu darimu. Menteri Lingkungan Hidup, sekarang aku mendapat jabatan itu. Sepatu bututku, tas plastikku, sapu lidimu, dan pakaian oranyemu kini tersimpan di museumku, semua itu adalah pengingatku akan dirimu. Terimakasih atas didikanmu ayah.




Ini cerpen waktu ikut lomba tingkat JakPus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar