“Jadi, jam berapa Kamu berangkat?” tanyaku padanya. Pandangannya mengarah pada api unggun, enatah apa yang ia pikirkan.
“Bisakah kita tetap berhubungan dalam jarak sejauh itu?” itu bukan jawaban yang kuharapkan tapi dari pertanyaan itu aku tahu dia tak ingin cepat-cepat pergi dari sini.
“Tentu saja, banyak media sosial yang bisa kita gunakan, kan?” aku sedikit tak yakin dengan ini, sebenarnya. “Bukankah Kamu senang ke sana? Saat ini sedang musim salju kan? Kalau aku jadi Kamu, aku akan sangat senang, main salju, saling lempar bola salju, aku ingin sekali ke sana, ke Jerman.”
“Ra, aku pikir, lebih baik aku di sini, aku lebih nyaman tinggal di Bandung. Aku bisa dekat terus dengamu, aku tidak perlu adaptasi lagi, aku tidak perlu melancarkan bahasa Jermanku, aku juga tak peduli dengan salju.” Dia menatapku dan aku bingung ingin bicara apa padanya, aku juga ingin kamu di sini Raja, aku tak ingin kamu pergi.
“Tapi, bagaimana dengan orang tuamu? Mereka…” Aku mengalihkan wajahku darinya.
“Mereka bisa ke sana tanpa aku, lagi pula di Bandung masih ada sepupuku.” Ia senyum padaku, selalu saja, aku tak bisa menahan bibirku untuk ikut tersenyum saat ia tersenyum. Mengapa kamu sangat mudah tersenyum Raja, padahal banyak sekali masalah di belakangmu.
Aku tidak bisa membiarkan dia tetap di Bandung, lebih baik dia ikut bersama orang tuanya ke Jerman, karena aku juga akan pindah ke Nusa Tenggara Barat, ayahku ingin pulang dan bekerja di kampung halamannya. “Ja, Kamu harus pergi, ikut orang tuamu ke Jerman. Kamu akan mendapatkan banyak pengalaman di sana dan Kamu bisa hidup lebih baik di sana, dengan orang tuamu.” Kataku akhirnya, sangat sakit mengucapkannya.
“Kenapa? Kamu berbicara seperti itu padaku, kenapa? Kamu ingin aku pergi?” Tanyanya, wajahnya menampakan kemarahan. Aku diam tak menjawab pertanyaannya. “Baiklah, kalau itu maumu, aku pergi.” Ia pergi setelah itu, dia tak mengucapkan apa-apa lagi, ia pergi tanpa mengucapkan ‘selamat tinggal’ atau ‘sampai berjumpa lagi’.
Saat ini aku hanya dapat melihat punggungnya yang menjauh, ia tak menengokan kepalanya sedikit pun ke arahku. Dada kiriku terasa nyeri, air mataku berhasil keluar, bahkan aku tak dapat menahan isakanku. Maafkan aku Raja, bahkan aku sama sekali belum pernah mengatakan ‘aku cinta kamu’. Aku minta maaf.
Selama inikah aku tidak bertemu dengannya? Lima tahun tanpa bertemu dengannya rasanya hati ini begitu sepi. Ia juga tidak menghubungiku sama sekali. Saat ini aku ada di Bandung, aku kembali ke sini karena aku beranggapan ia sudah kembali. Sebenarnya, aku kembali ke sini karena ibuku harus menemani nenek yang sedang sakit.
Aku sedang berada di tempat terakhir aku bertemu dengannya, suasananya masih sejuk. Pemandangan kebun teh yang selalu kusuka. Karena mengingat kenanganku dengannya tentang api unggun, aku pun mencari kayu, meminta minyak tanah dan korek api, juga jagung untuk aku bakar. Aku suka pada semua yang kulakukan bersamanya selama ini.
Pemandangan indah ini, mungkin akan jarang kunikmati, jadi aku mengambil kameraku dan memotretnya dengan angel yang menurutku bagus, aku juga memotret sudut-sudut tempat dimana ada suatu kenangan tentang Raja.
Aku ingin memotret jalan yang kulalui menuju tempat ini, sehingga aku berbalik ke arah pulang, namun tanpa kuduga, mata kameraku menangkap sesuatu yang bisa membuatku tersenyum saat itu juga. Raja, tiba-tiba saja dia ada, aku pun menurunkan kameraku dan berhadapan langsung dengannya.
Tak bisa menahan senyum ini dan jantung ini yang seperti sedang meloncat kegirangan. “Hai.” Itu adalah kata pertama yang kuucapkan. Aku merasa benar-benar bisu.
“Jadi itu hobi barumu? Fotografi?” katanya, dia tidak tersenyum, rawut wajahnya datar. Tidak bisakah dia memberiku senyum?
“Bagaimana saljunya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya, aku tak suka caranya bertanya.
“Apa tujuanmu kemari?” tanyanya, suaranya terdengar keras.
“Apa orang tuamu baik?” tanyaku lagi, suaraku terdengar serak, dadaku juga mulai merasakan ngilu.
“Sudah puas?” tanyanya, aku tak mengerti apa yang ia bicarakan.
Aku sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang selalu kusimpan karena tidak ada dirinya, aku pun membiarkan air mataku mengalir. “Aku cinta Kamu, Raja.” Kataku akhirnya. Aku merasa sangat lega, tapi ternyata air mataku keluar lebih banyak dari yang kubayangkan.
Aku tidak pernah mengira ia akan berjalan ke arahku seperti ini, pelan namun yakin. Tanpa berhenti, ia langsung memelukku. Hangat. Aku dapat mendengar desahan nafasnya, aku juga dapat merasakan detak jantungnya. Aku tersenyum dalam diam, aku senang ia kembali. Terima kasih Raja.
“Jangan pernah pergi lagi dari sini, karena aku tidak akan pergi jauh lagi darimu.” Suaranya lembut. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar