Bukan Saya yang Sebenar-benarnya

Setiap orang punya sisi gelap, sisi terang, sisi kanan, sisi kiri
Tapi mereka nggak punya satu sisi : SISI-pan
Karena SISI-pan hanyalah tambahan

25 Juli 2013

Karena Mimpi

“Seraaang!,” suara-suara kegaduhan yang kudengar saat ini. Orang-orang berseragam  putih abu-abu yang berada di sekitarku saling melempar batu, beberapa orang membawa benda-benda tajam. Para siswa SMA berlari ke sana sini, dan terlihat beberapa siswa yang terkapar  ke jalan dan darah segar mengalir dari badanya, sungguh mengerikan kejadian ini. Dan mengapa aku harus berada di tengah orang-orang ini?
            Rasa cemas mengerubungiku, keringat bercucuran dari badanku, jantungku berdegup kencang. Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang hingga tanpa sadar aku telah menyakiti diriku sendiri. Berada di antara orang-orang yang sedang mempertaruhkan nyawa mereka demi hal yang sia-sia bukanlah hal yang baik tapi hal yang sangat buruk. Jika aku berdiam di sini aku akan terluka, dan inilah saatnya mengambil ancang-ancang untuk ber, “lariii…,” ucapku dengan suara lantang, aku tidak pernah menyangka bahwa lariku bisa secepat ini jika dalam situasi gawat.
            Berlari dengan cepat membuatku hampir menabrak beberapa penghalang yang ada di depanku, termasuk orang ini. Seseorang dengan baju yang kotor dan benda tajam yang dibawanya membuatku tersentak kaget sehingga memaksaku untuk mengehentikan lari dengan tiba-tiba. Orang itu mendekatiku sambil menunjukan celurit yang ada di tangan kanannya, ia semakin mendekatiku, mendekat dan mendekat. Kejadian ini membuat jantungku berdegup tak beraturan. Mati aku. Ya Tuhan, selamatkan aku dari orang-orang ini. Tiba-tiba orang di depanku terjatuh, yang kulihat kepalanya berdarah! Kupikir ia terkena lemparan batu, dan itu berarti sekarang saatnya aku pergi dari sini. Secepatnya! Sebelum ada orang lain yang mencegatku lagi.
            “Hu…hu… untung saja,” aku membungkuk, meletakkan satu tanganku di lutut dan satu lagi di perutku yang terasa sakit akibat berlari. Kejadian ini cukup melelahkan bagiku dan membuat pikiranku kacau.
            Di saat seperti ini, pasti perutku lapar dan mengingatkanku pada aroma telur yang berpadu dengan ketan. Kerak telor buatan bapak. Hanya dengan membayangkan saja, aku sudah tahu bagaimana rasanya dan hanya dengan membayangkan saja dapat membuatku menikmati kelezatannya. Walaupun aku menginginkan kerak telor bapak, yang aku butuhkan sekarang adalah air!
            Tempat terdekat saat ini adalah toko kelontong milik koh Aliong. Toko yang bernuansa merah dan toko yang berpenjaga. Aku harus berjalan dengan hati-hati, bukan karena jalan setapak yang licin tapi aku takut akan membangunkan sang penjaga. Anjing bulldog milik koh Aliong.
            “Haiya… mau beli apa Kamu?,” ucapan koh Aliong yang tiba-tiba berhasil membuatku kaget hingga aku terloncat.
            “Ah, Ngkoh bikin kaget aja,” ucapku sambil mengelus dada dan mencoba berdiri. Setelah tubuhku berhasil berdiri tegak…
            “Guk… guk!,” anjing bulldog koh Aliong bersuara dan terdengar menakutkan bagiku dan karena itu usahaku menghindari anjing koh Aliong gagal!
            “, Tuh kan, Koh, anjingnya jadi bangun, Engkoh sih!,” aku menyalahkan koh Aliong atas kejadian ini! “Yaudah, aku mau beli botol air mineral ya, Koh,” aku mengambil botol air mineral dari kulkas warna merah yang merupakan warna favorit koh Aliong.
            Cara minumku yang seperti orang kesurupan tidak kupedulikan, yang kupedulikan hanyalah bahwa aku haus! Sangat haus. Setelah air dalam botol habis, aku baru menyadari bahwa bukan bajuku yang basah melainkan anjing koh Aliong yang sedari tadi memperhatikanku dengan lidah yang menjulur dan air liurnya mengalir, “iyeekh…,” menjijikan!
            “Ara kecapekan ya? Apa karena habis latihan nari topeng?,” tanya koh Aliong meledek, ia menggiringku untuk masuk ke tokonya.       Emm… tunggu! Menari bukanlah alasan bagiku untuk lelah, karena menari sudah menjadi bagian dalam hidupku, dengan menari aku dapat mengungkapkan perasaanku, dengan menari aku dapat berkarya, dan karena menari juga aku harus berbohong. “Bukan, Koh, tapi gara-gara tawuran!,” jawabku dengan ketus, bagaimana tidak? Karena tawuran, nyawaku hampir melayang.
            “Bagaimana, ada berita baru, Ra?,” tanya koh Aliong, pertanyaan koh Aliong berhasil membuatku semangat lagi! Sepertinya koh Aliong selalu tau apa yang baru saja terjadi pada latihan menariku, karena dugaannya benar! Guru tariku memberi kabar bahwa kelompok tari kami akan pentas.
            “Ngkoh tau aja,” ucapku sambil tersipu malu, aku pun menunjukkan gerakan-gerakan baru. Menggerakkan beberapa anggota badan untuk menari adalah kebahagiaan tersendiri untukku. Bagai melepaskan beban yang berat.
            Kegiatan menari ini tidak pernah terlihat oleh bapak dan ibu, hanya koh Aliong yang tahu. Aku sengaja sembunyi-sembunyi saat latihan karena jika mereka tahu, mereka pasti akan marah padaku, mereka tidak pernah mengizinkanku menari, yang mereka inginkan dariku adalah belajar dan belajar agar aku sukses. Untuk itulah aku terpaksa berbohong pada bapak dan ibu, berbohong bahwa aku pulang sore karena aku ada pelajaran tambahan. Sejujurnya, aku merasa bersalah karena membohongi mereka tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku ingin menari. Maafkan aku ayah, ibu!
            Sebenarnya aku tahu maksud ayah melarangku menari, ia ingin aku menjadi seorang pengusaha agar aku tidak hidup susah seperti sekarang. Pekerjaan ayah sebagai penjual kerak telor yang membuat ayah melarangku, hasil dari menjual kerak telor kurang cukup untuk memenuhi kehidupan kami. Dan ibu telah menjadi ibu rumah tangga terbaik yang pernah aku kenal, walaupun ibu juga tidak setuju tapi ibu selalu memberikanku motivasi untuk maju.
            Setiap hari, aku selalu pulang sore untuk latihan menari sampai hari ini. Berada di sebuah ruangan besar yang dindingnya dilapisi kaca di mana-mana, musik betawi yang mengalun membuatku bergerak melenggok-lenggokan badanku menyamakan dengan ketukan. Berada di ruangan ini seperti berada dalam sebuah dunia yang berbeda, dunia tanpa kesedihan dan kepedihan, yang ada hanya dunia seni yang indah.
            Latihan hari ini usai sekarang saatnya aku pulang ke rumah bukan ke toko kelontong milik koh Aliong yang berpenjaga menyeramkan itu. Semoga saja tidak terjadi tawuran lagi seperti seminggu yang lalu.
            Keluar dari ruangan tari membuatku kembali lesuh dan harus teringat akan kebohonganku lagi, kebohongan demi keinginanku. Apakah aku salah? Apakah aku durhaka? Aku memilih jalanku sendiri dan terpaksa membohongi kedua orang tuaku.
            Aku berjalan keluar, beberapa teman tariku mengucapkan selamat tinggal padaku, “sampai jumpa!,” balasku dengan senyum pada mereka. Aku membalik badanku dan saat itu juga senyumku memudar berganti dengan wajah takut, badanku terasa kaku tidak bisa bergerak, jantungku berdegup kencang seakan ingin copot, “Bapak,” ucapku begitu saja. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan tiba-tiba saja bapak menarikku ke tempat yang lebih sepi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak bisa mengelak lagi.
            “Sudah berapa kali bapak bilang bahwa Kamu tidak boleh ikut menari! Tapi Kamu masih tidak mau menuruti kata-kata bapak!,” bentak bapak padaku, aku yakin ia sangat marah padaku, aku sudah membohonginya!
            Aku membuka mulut untuk bicara tapi bapak mendahuluiku, “Kamu benar-benar kelewatan Ara! Bapak sudah mempercayai Kamu, tapi Kamu menghianati kepercayaan bapak! Bapak kecewa sama Kamu!,” kata bapak, . Kini aku semakin terdesak.
            Aku tidak bisa seperti ini, aku ingin bapak tahu, aku ingin bapak mengerti, “Maafin Ara, Pak, Ara tidak bermaksud membohongi Bapak atau pun ibu tapi Ara juga tidak bisa membohongi diri Ara sendiri kalau Ara ingin menari. Karena Ara merasa menari adalah diri Ara! Dengan menari, Ara merasa bebas, Ara merasa semua beban ini terasa ringan,” ucapku sambil terisak, air mataku mengalir deras.
            “Bapak tidak ingin Kamu menjadi penari! Bapak ingin Kamu menjadi pengusaha! Agar kita tidak terus terpuruk seperti sekarang ini!,” setelah mengucapkan kata-kata itu, bapak langsung pergi meninggalkanku sendirian. Setelah bapak pergi, tangisku pecah. Apakah aku salah jika aku ingin menjadi penari? Apa salah jika seorang anak penjual kerak telor menjadi penari?
            Aku berjalan pulang dengan lesuh, dan tidak menyadari bahwa sekarang adalah saat yang buruk. Batu-batu berterbangan di udara, hujan batu! Dan sesaat aku menyadari bahwa sekarang tawuran antar pelajar SMA sedang berlangsung. Aku seperti orang yang tak tau arah, fikiranku kacau, badanku terasa kaku tak bisa bergerak, apa yang terjadi? Ayo Ara lari! Lari! Kamu harus lari! Tidak. Tidak bisa! Aku tidak bisa berlari.
            “Duk!,” suara kencang yang terasa menyakitkan untuk kepalaku. Semua terasa bergoyang dan buram, kepalaku sakit. Kupegang kepalaku dan ternyata, darah. Ternyata suara itu adalah batu yang berhasil membentur kepalaku, dan semua menjadi gelap.
            Semua berwarna putih saat aku mulai membuka mata, dan aku tahu di mana ini. Rumah Sakit. Karena baunya aku tau, bau rumah sakit tidak bisa dibohongi. Kepalaku pusing, sangat pusing, dan langsung saja aku teringat peristiwa yang terakhir kali terjadi padaku. Kebohonganku terbongkar.
            Aku menggunakan mataku untuk melihat-lihat ruangan dan mataku tertuju pada seorang yang tak  asing bagiku, seorang yang aku bohongi. Bapak. Aku melihat bapak berbicara, tapi mengapa aku tidak mendengarnya. Aku mencoba dan mencoba agar aku bisa dengar tapi mengapa aku tidak bisa dengar, aku mencoba mengeluarkan suara, aku mencoba bertanya, “apa?,” dan bahkan aku tidak bisa mendengar suaraku. Sebenarnya ada apa ini? Apa aku tuli sekarang? Apa telingaku sudah tidak dapat berfungsi lagi?
            Setelah kejadian itu, duniaku sungguh berbeda, dunia yang sunyi, dunia yang sepi tanpa musik, musik yang dapat menggerakkan anggota badanku melenggak-lenggok bak penari profesional. Kini impianku pupus, impianku menjadi penari professional. Mungkin ini memang karma untukku karena telah membohongi kedua orang tuaku. Aku harusnya mematuhi mereka bukan membohongi mereka. Tapi aku tidak akan menyerah! Aku akan tetap menari! Bukan sembunyi-sembunyi tapi di hadapan mereka, aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku bisa walaupun tanpa mendengar musik sekalipun!
            Aku mencoba berlatih dan berlatih menari di hadapan mereka dengan menggunakan ketukan. Berkali-kali bapak mencoba menghentikanku dengan marah padaku, aku pun berhenti. Namun berkali-kali juga aku kembali menari, menari dengan senyuman walaupun bersamaan dengan keluarnya air mataku keluar. Aku tidak peduli! Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa! Dan akhirnya aku bisa. Aku dapat mengusai semua gerakan dan dapat menarikannya sesuai dengan ketukan.
            Hari ini adalah hari dimana aku harus menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa. Musik mulai mengalun, walaupun aku tidak dengar tapi aku tau karena teman-temanku member isyarat. Aku mulai memasuki panggung yang dipenuhi cahaya lampu. Lantai panggung terasa dingin di kakiku. Dilihat oleh banyak penonton adalah salah satu harapanku dan diantara penonton itu ada bapak dan ibu.
            Pertunjukan kami selesai, semua penonton memberi tepukan yang meriah untuk kami, aku merasa bangga pada diriku sendiri. Bukan karena aku berhasil menari dengan sempurna, tapi aku dapat membawa bapak dan ibu untuk melihat pementasanku, karena dengan kedatangan mereka semangatku untuk tampil lebih baik semakin tinggi. Terima kasih ayah, ibu.
             Saatku keluar dari panggung, aku dikejutkan akan kehadiran bapak dan ibu. Tiba-tiba mereka memelukku, sangat erat. Aku yakin mereka berbicara sesuatu padaku walaupun aku tidak dapat mendengarnya. Aku merasa bajuku basah, mungkin ini keringat yang mengucur karena tegang saat di panggung.
            Ibu dan bapak melepaskan pelukan mereka dan aku sadar, mereka menangis. Pantas saja bajuku basah. Tapi tak apa yang penting hari ini adalah hari terbahagiaku. Bapak menulis sesuatu di kertas, “BAPAK DAN IBU TIDAK AKAN MELARANGMU MENARI LAGI,” Dan saat ini aku sangat yakin, hari ini adalah hari dimana aku benar-benar dapat menghapus beban yang selama ini tersimpan di dalam hati dan juga fikiranku.
            Satu hal yang selalu aku ingat, mimpi. Dengan mimpi aku dapat meraih impianku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar