“Seraaang!,” suara-suara kegaduhan
yang kudengar saat ini. Orang-orang berseragam putih abu-abu yang berada di sekitarku saling
melempar batu, beberapa orang membawa benda-benda tajam. Para siswa SMA berlari
ke sana sini, dan terlihat beberapa siswa yang terkapar ke jalan dan darah segar mengalir dari
badanya, sungguh mengerikan kejadian ini. Dan mengapa aku harus berada di
tengah orang-orang ini?
Rasa
cemas mengerubungiku, keringat bercucuran dari badanku, jantungku berdegup
kencang. Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang hingga tanpa sadar aku
telah menyakiti diriku sendiri. Berada di antara orang-orang yang sedang
mempertaruhkan nyawa mereka demi hal yang sia-sia bukanlah hal yang baik tapi
hal yang sangat buruk. Jika aku berdiam di sini aku akan terluka, dan inilah
saatnya mengambil ancang-ancang untuk ber, “lariii…,” ucapku dengan suara
lantang, aku tidak pernah menyangka bahwa lariku bisa secepat ini jika dalam
situasi gawat.
Berlari
dengan cepat membuatku hampir menabrak beberapa penghalang yang ada di depanku,
termasuk orang ini. Seseorang dengan baju yang kotor dan benda tajam yang
dibawanya membuatku tersentak kaget sehingga memaksaku untuk mengehentikan lari
dengan tiba-tiba. Orang itu mendekatiku sambil menunjukan celurit yang ada di
tangan kanannya, ia semakin mendekatiku, mendekat dan mendekat. Kejadian ini
membuat jantungku berdegup tak beraturan. Mati aku. Ya Tuhan, selamatkan aku
dari orang-orang ini. Tiba-tiba orang di depanku terjatuh, yang kulihat
kepalanya berdarah! Kupikir ia terkena lemparan batu, dan itu berarti sekarang
saatnya aku pergi dari sini. Secepatnya! Sebelum ada orang lain yang mencegatku
lagi.
“Hu…hu…
untung saja,” aku membungkuk, meletakkan satu tanganku di lutut dan satu lagi
di perutku yang terasa sakit akibat berlari. Kejadian ini cukup melelahkan
bagiku dan membuat pikiranku kacau.
Di
saat seperti ini, pasti perutku lapar dan mengingatkanku pada aroma telur yang
berpadu dengan ketan. Kerak telor buatan bapak. Hanya dengan membayangkan saja,
aku sudah tahu bagaimana rasanya dan hanya dengan membayangkan saja dapat
membuatku menikmati kelezatannya. Walaupun aku menginginkan kerak telor bapak,
yang aku butuhkan sekarang adalah air!
Tempat
terdekat saat ini adalah toko kelontong milik koh Aliong. Toko yang bernuansa
merah dan toko yang berpenjaga. Aku harus berjalan dengan hati-hati, bukan
karena jalan setapak yang licin tapi aku takut akan membangunkan sang penjaga.
Anjing bulldog milik koh Aliong.
“Haiya…
mau beli apa Kamu?,” ucapan koh Aliong yang tiba-tiba berhasil membuatku kaget hingga
aku terloncat.
“Ah,
Ngkoh bikin kaget aja,” ucapku sambil mengelus dada dan mencoba berdiri.
Setelah tubuhku berhasil berdiri tegak…
“Guk…
guk!,” anjing bulldog koh Aliong bersuara dan terdengar menakutkan bagiku dan
karena itu usahaku menghindari anjing koh Aliong gagal!
“,
Tuh kan, Koh, anjingnya jadi bangun, Engkoh sih!,” aku menyalahkan koh Aliong
atas kejadian ini! “Yaudah, aku mau beli botol air mineral ya, Koh,” aku
mengambil botol air mineral dari kulkas warna merah yang merupakan warna
favorit koh Aliong.
Cara
minumku yang seperti orang kesurupan tidak kupedulikan, yang kupedulikan
hanyalah bahwa aku haus! Sangat haus. Setelah air dalam botol habis, aku baru
menyadari bahwa bukan bajuku yang basah melainkan anjing koh Aliong yang sedari
tadi memperhatikanku dengan lidah yang menjulur dan air liurnya mengalir,
“iyeekh…,” menjijikan!
“Ara
kecapekan ya? Apa karena habis latihan nari topeng?,” tanya koh Aliong meledek,
ia menggiringku untuk masuk ke tokonya.
Emm… tunggu! Menari bukanlah alasan bagiku untuk lelah, karena menari sudah
menjadi bagian dalam hidupku, dengan menari aku dapat mengungkapkan perasaanku,
dengan menari aku dapat berkarya, dan karena menari juga aku harus berbohong.
“Bukan, Koh, tapi gara-gara tawuran!,” jawabku dengan ketus, bagaimana tidak?
Karena tawuran, nyawaku hampir melayang.
“Bagaimana,
ada berita baru, Ra?,” tanya koh Aliong, pertanyaan koh Aliong berhasil
membuatku semangat lagi! Sepertinya koh Aliong selalu tau apa yang baru saja
terjadi pada latihan menariku, karena dugaannya benar! Guru tariku memberi
kabar bahwa kelompok tari kami akan pentas.
“Ngkoh
tau aja,” ucapku sambil tersipu malu, aku pun menunjukkan gerakan-gerakan baru.
Menggerakkan beberapa anggota badan untuk menari adalah kebahagiaan tersendiri
untukku. Bagai melepaskan beban yang berat.
Kegiatan
menari ini tidak pernah terlihat oleh bapak dan ibu, hanya koh Aliong yang
tahu. Aku sengaja sembunyi-sembunyi saat latihan karena jika mereka tahu,
mereka pasti akan marah padaku, mereka tidak pernah mengizinkanku menari, yang
mereka inginkan dariku adalah belajar dan belajar agar aku sukses. Untuk itulah
aku terpaksa berbohong pada bapak dan ibu, berbohong bahwa aku pulang sore
karena aku ada pelajaran tambahan. Sejujurnya, aku merasa bersalah karena
membohongi mereka tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku ingin
menari. Maafkan aku ayah, ibu!
Sebenarnya
aku tahu maksud ayah melarangku menari, ia ingin aku menjadi seorang pengusaha
agar aku tidak hidup susah seperti sekarang. Pekerjaan ayah sebagai penjual
kerak telor yang membuat ayah melarangku, hasil dari menjual kerak telor kurang
cukup untuk memenuhi kehidupan kami. Dan ibu telah menjadi ibu rumah tangga
terbaik yang pernah aku kenal, walaupun ibu juga tidak setuju tapi ibu selalu
memberikanku motivasi untuk maju.
Setiap
hari, aku selalu pulang sore untuk latihan menari sampai hari ini. Berada di
sebuah ruangan besar yang dindingnya dilapisi kaca di mana-mana, musik betawi
yang mengalun membuatku bergerak melenggok-lenggokan badanku menyamakan dengan
ketukan. Berada di ruangan ini seperti berada dalam sebuah dunia yang berbeda,
dunia tanpa kesedihan dan kepedihan, yang ada hanya dunia seni yang indah.
Latihan
hari ini usai sekarang saatnya aku pulang ke rumah bukan ke toko kelontong
milik koh Aliong yang berpenjaga menyeramkan itu. Semoga saja tidak terjadi tawuran
lagi seperti seminggu yang lalu.
Keluar
dari ruangan tari membuatku kembali lesuh dan harus teringat akan kebohonganku
lagi, kebohongan demi keinginanku. Apakah aku salah? Apakah aku durhaka? Aku
memilih jalanku sendiri dan terpaksa membohongi kedua orang tuaku.
Aku
berjalan keluar, beberapa teman tariku mengucapkan selamat tinggal padaku,
“sampai jumpa!,” balasku dengan senyum pada mereka. Aku membalik badanku dan
saat itu juga senyumku memudar berganti dengan wajah takut, badanku terasa kaku
tidak bisa bergerak, jantungku berdegup kencang seakan ingin copot, “Bapak,”
ucapku begitu saja. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan
tiba-tiba saja bapak menarikku ke tempat yang lebih sepi. Apa yang harus aku
lakukan sekarang? Aku tidak bisa mengelak lagi.
“Sudah
berapa kali bapak bilang bahwa Kamu tidak boleh ikut menari! Tapi Kamu masih
tidak mau menuruti kata-kata bapak!,” bentak bapak padaku, aku yakin ia sangat
marah padaku, aku sudah membohonginya!
Aku
membuka mulut untuk bicara tapi bapak mendahuluiku, “Kamu benar-benar kelewatan
Ara! Bapak sudah mempercayai Kamu, tapi Kamu menghianati kepercayaan bapak!
Bapak kecewa sama Kamu!,” kata bapak, . Kini aku semakin terdesak.
Aku
tidak bisa seperti ini, aku ingin bapak tahu, aku ingin bapak mengerti, “Maafin
Ara, Pak, Ara tidak bermaksud membohongi Bapak atau pun ibu tapi Ara juga tidak
bisa membohongi diri Ara sendiri kalau Ara ingin menari. Karena Ara merasa
menari adalah diri Ara! Dengan menari, Ara merasa bebas, Ara merasa semua beban
ini terasa ringan,” ucapku sambil terisak, air mataku mengalir deras.
“Bapak
tidak ingin Kamu menjadi penari! Bapak ingin Kamu menjadi pengusaha! Agar kita
tidak terus terpuruk seperti sekarang ini!,” setelah mengucapkan
kata-kata itu, bapak langsung pergi meninggalkanku sendirian. Setelah bapak
pergi, tangisku pecah. Apakah aku salah jika aku ingin menjadi penari? Apa
salah jika seorang anak penjual kerak telor menjadi penari?
Aku
berjalan pulang dengan lesuh, dan tidak menyadari bahwa sekarang adalah saat
yang buruk. Batu-batu berterbangan di udara, hujan batu! Dan sesaat aku
menyadari bahwa sekarang tawuran antar pelajar SMA sedang berlangsung. Aku
seperti orang yang tak tau arah, fikiranku kacau, badanku terasa kaku tak bisa
bergerak, apa yang terjadi? Ayo Ara lari! Lari! Kamu harus lari! Tidak. Tidak
bisa! Aku tidak bisa berlari.
“Duk!,”
suara kencang yang terasa menyakitkan untuk kepalaku. Semua terasa bergoyang
dan buram, kepalaku sakit. Kupegang kepalaku dan ternyata, darah. Ternyata
suara itu adalah batu yang berhasil membentur kepalaku, dan semua menjadi
gelap.
Semua
berwarna putih saat aku mulai membuka mata, dan aku tahu di mana ini. Rumah
Sakit. Karena baunya aku tau, bau rumah sakit tidak bisa dibohongi. Kepalaku
pusing, sangat pusing, dan langsung saja aku teringat peristiwa yang terakhir
kali terjadi padaku. Kebohonganku terbongkar.
Aku
menggunakan mataku untuk melihat-lihat ruangan dan mataku tertuju pada seorang
yang tak asing bagiku, seorang yang aku
bohongi. Bapak. Aku melihat bapak berbicara, tapi mengapa aku tidak
mendengarnya. Aku mencoba dan mencoba agar aku bisa dengar tapi mengapa aku
tidak bisa dengar, aku mencoba mengeluarkan suara, aku mencoba bertanya,
“apa?,” dan bahkan aku tidak bisa mendengar suaraku. Sebenarnya ada apa ini?
Apa aku tuli sekarang? Apa telingaku sudah tidak dapat berfungsi lagi?
Setelah
kejadian itu, duniaku sungguh berbeda, dunia yang sunyi, dunia yang sepi tanpa
musik, musik yang dapat menggerakkan anggota badanku melenggak-lenggok bak
penari profesional. Kini impianku pupus, impianku menjadi penari professional.
Mungkin ini memang karma untukku karena telah membohongi kedua orang tuaku. Aku
harusnya mematuhi mereka bukan membohongi mereka. Tapi aku tidak akan menyerah!
Aku akan tetap menari! Bukan sembunyi-sembunyi tapi di hadapan mereka, aku akan
membuktikan pada mereka bahwa aku bisa walaupun tanpa mendengar musik
sekalipun!
Aku
mencoba berlatih dan berlatih menari di hadapan mereka dengan menggunakan
ketukan. Berkali-kali bapak mencoba menghentikanku dengan marah padaku, aku pun
berhenti. Namun berkali-kali juga aku kembali menari, menari dengan senyuman
walaupun bersamaan dengan keluarnya air mataku keluar. Aku tidak peduli! Aku
ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa! Dan akhirnya aku bisa. Aku dapat
mengusai semua gerakan dan dapat menarikannya sesuai dengan ketukan.
Hari
ini adalah hari dimana aku harus menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa. Musik
mulai mengalun, walaupun aku tidak dengar tapi aku tau karena teman-temanku
member isyarat. Aku mulai memasuki panggung yang dipenuhi cahaya lampu. Lantai
panggung terasa dingin di kakiku. Dilihat oleh banyak penonton adalah salah
satu harapanku dan diantara penonton itu ada bapak dan ibu.
Pertunjukan
kami selesai, semua penonton memberi tepukan yang meriah untuk kami, aku merasa
bangga pada diriku sendiri. Bukan karena aku berhasil menari dengan sempurna,
tapi aku dapat membawa bapak dan ibu untuk melihat pementasanku, karena dengan
kedatangan mereka semangatku untuk tampil lebih baik semakin tinggi. Terima
kasih ayah, ibu.
Saatku keluar dari panggung, aku dikejutkan
akan kehadiran bapak dan ibu. Tiba-tiba mereka memelukku, sangat erat. Aku
yakin mereka berbicara sesuatu padaku walaupun aku tidak dapat mendengarnya.
Aku merasa bajuku basah, mungkin ini keringat yang mengucur karena tegang saat
di panggung.
Ibu
dan bapak melepaskan pelukan mereka dan aku sadar, mereka menangis. Pantas saja
bajuku basah. Tapi tak apa yang penting hari ini adalah hari terbahagiaku.
Bapak menulis sesuatu di kertas, “BAPAK DAN IBU TIDAK AKAN MELARANGMU MENARI
LAGI,” Dan saat ini aku sangat yakin, hari ini adalah hari dimana aku
benar-benar dapat menghapus beban yang selama ini tersimpan di dalam hati dan
juga fikiranku.
Satu
hal yang selalu aku ingat, mimpi. Dengan mimpi aku dapat meraih impianku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar