Bukan Saya yang Sebenar-benarnya

Setiap orang punya sisi gelap, sisi terang, sisi kanan, sisi kiri
Tapi mereka nggak punya satu sisi : SISI-pan
Karena SISI-pan hanyalah tambahan

25 Juli 2013

Ayahku Seorang Pembersih Jalan

Cahaya remang-remang dari sebuah lampu minyak yang tergantung di rumahku mulai terlihat oleh mataku yang baru saja terbuka, terdengar suara ayam berkokok yang menandakan hari sudah fajar. Seketika aku bangun dari tempat tidurku yang selalu membuat badanku pegal-pegal sehabis tidur, bagaimana tidak tempat tidurku sangat keras bahkan tempat tidurku tidak bisa dibilang sebagai tempat tidur yang layak. Bau harum kayu bakar tercium oleh hidungku yang berarti ibu sedang memasak sarapan untuk keluargaku. Aku menghampiri ibu yang berada di dapur, dapur yang kotor dan menjijikan untuk orang-orang yang memiliki dapur bersih, aku sendiri merasa iri dengan teman-teman sekolahku yang memiliki dapur indah dan perlengkapan masak yang komplit dengan gas sebagai bahan bakarnya. Walaupun berbeda tetap saja rumah adalah tempat terindah yang kumiliki karena aku memiliki segalanya di dalam yaitu, ayah, ibu, dan adik tersayangku yang masih menginjak kelas satu SD.
            “Ibu, ada yang bisa aku bantu?” Tanyaku pada ibu saat aku memasuki dapur. Ibu hanya tersenyum mendengar pertanyaanku dan itulah yang selalu ibu lakukan setiap aku ingin membantunya.
            “Tidak perlu, Nak, lebih baik kamu sholat subuh dulu kemudian mandi. Ibu tidak ingin Kamu terlambat.” Ibu masih sibuk dengan masakkannya. Aku mengikuti nasihat ibu untuk sholat kemudian mandi.
Sebelum aku masuk ke kamar mandi, aku melihat bapak, bapak menggunakan pakaian yang biasa ia pakai yaitu, pakaian yang berdominan warna oranye. Bapakku adalah seorang pembersih jalan, bisa kubilang pembersih jalan yang sangaaat baik. Tahu kenapa? Setiap hari ia berangkat saat fajar menyingsing dan kembali saat senja datang, ia hanya membawa sapu lidi berukuran besar yang biasa ia pakai untuk membersihkan jalanan, menurutku pekerjaan bapak sangat mulia karena tanpa bapak mungkin jalanan tidak akan bersih. Namun, walaupun begitu aku sering merasa malu dengan teman-temanku, mereka selalu mengejekku dan mengataiku seorang anak pembersih jalan.
“Bapak, sudah mau berangkat ya?” Tanyaku saat berpapasan dengan bapak.
“Iya, Kinar, bapak harus berangkat sekarang.” Jawab bapak sambil tersenyum padaku, senyum yang selalu membuatku tenang.
“Bapak gak mau sarapan dulu?” Tanyaku lagi sambil melirik ke arah dapur.
“Tadi, bapak sudah sarapan duluan menggunakan lauk kemarin sore.” Kata bapak sambil mengusap-usap perutnya.
Bapak bilang sudah makan lauk kemarin sore, tapi lauk kemarin sore hanya tahu, dan itu tinggal tersisa setengahnya. Aku tahu, di balik wajahnya yang terlihat senang itu ia menahan lapar, aku tahu itu.
“Bapak berangkat dulu ya, Nak.” Kata bapak akhirnya. Bapak pun pergi setelah aku berpamitan dengannya.
Selesai mandi, aku membereskan buku-buku yang harus kubawa ke sekolah. Aku sudah menyiapkan semua bukunya dan sekarang aku harus mencari kantung plastik untuk menaruh buku-buku itu. Aku tidak memiliki tas, beberapa hari yang lalu tasku jebol karena sudah terlalu tua, sebenarnya bapak ingin membelikan yang baru untukku tapi aku menolaknya karena aku tahu bapak lebih membutuhkan uang itu walaupun aku merasa malu dengan teman-temanku.
Semua sudah siap, sekarang saatnya aku sarapan bersama ibu dan adikku. Hanya nasi dan tempe yang bisa aku makan sekarang, ibu belum membeli lauk untuk hari ini. Selesai saarapan, aku dan adikku keluar dari rumah kecilku dan menggunakan sepatu kami yang sudah berubah warna menjadi lebih kusam. Kupakai sepatuku, namun aku merasakan sesuatu yang janggal ketika berjalan, saat aku melihat sepatuku mulut buaya sedang menganga dengan lebar dengan lidah yang panjang, sepatuku menganga dan terlihat jari-jariku yang dilapisi kaus kaki berwarna putih.
“Ada apa, Kinar?” Tanya ibu padaku. Pasti ibu melihat sesuatu yang aneh pada sepatuku, sejujurnya aku tidak ingin ibu melihatnya. “Sepatumu rusak, sepertinya sudah tidak bisa diperbaiki. Nanti, kita minta bapak belikan sepatu baru untukmu ya.” Kata ibu. Kalimat ibu yang terkahir membuatku langsung menggeleng.
“Gak perlu, Bu, gak apa-apa kok nanti aku sol aja.” Kataku akhirnya, aku dan adikku pun pamit pada ibu.
Sampai di sekolah, benar saja teman-temanku melihat sepatuku dengan tatapan yang merendahkan. Malu bahkan sangat malu. Teman-teman mulai mengejekku dan mengataiku. Aku tidak kuat, aku merasa malu, dan dada bagian kiriku terasa ngilu untuk sesaat kemudian air mataku keluar begitu saja, aku mencoba menahannya tapi sangat sulit, sulit sekali. Akhirnya aku langsung berlari menuju kelasku lalu menelungkupkan kepalaku di atas meja, tangisku menjadi-jadi sampai guru yang mengajar kelasku datang aku baru bisa menghentikan tangisku.
“Anak-anak, ibu ingin memberikan pengumuman pada kalian. Harap diam semuanya!” Ibu guru mengetuk-ngetuk papan tulis menggunakan penghapus khusus papan tulis. “Dalam memperingati bulan bahasa, sekolah kita mengadakan lomba yaitu, untuk kelas satu sampai kelas tiga SD adalah membawakan cerita lucu dan untuk kelas empat sampai enam SD, terutama kalian kelas lima adalah membacakan puisi. Puisi yang kalian bacakan bertema tentang lingkungan, kalian bisa mengambil dari internet ataupun membuatnya sendiri.” Selesai membacakan pengumuman, ibu guru langsung pergi karena tepat saat ia selesai berbicara bel tanda pulang berbunyi.
Apa yang harus aku bacakan saat bulan bahasa nanti? Aku tidak mungkin pergi ke warnet, uang jajan saja tidak punya. Tinggal tersisa waktu sembilan hari  lagi dan aku belum menyiapkan apapun. Tentang lingkungan? Aha! Bagaimana jika aku bertanya pada bapak sepulang sekolah nanti?
Pulang sekolah aku pun pergi ke tempat bapak bekerja, tentu saja di pinggir jalan. Saat aku sampai, aku tidak langsung menemui bapak tapi aku melihatnya dari balik pohon, dari balik pohon aku dapat melihat bagaimana bapak bekerja, ia bekerja dengan wajah yang selalu ceria walaupun keringat bercucuran di sekitar wajahnya. Bapak sedang menyapu jalanan yang dipenuhi dengan daun-daun kering yang bercampur dengan sampah plastik. Lama aku memperhatikan bapak, akhirnya aku menghampirinya.
“Bapak!” Teriakku saat aku sampai di hadapannya.
“Eh, Kamu, Kinar, tumben Kamu ke sini.” Kata bapak, ia menghentikan pekerjaannya menyapu jalan.
“Memangnya aku gak boleh ke sini?” Tanyaku bercanda.
“Boleh-boleh, ada apa?” Tanya Bapak.
“Aku ingin meminta pendapat Bapak. Aku ada tugas bahasa Indonesia membacakan puisi di bulan bahasa temanya mengenai lingkungan kata guruku, aku bisa mencarinya di internet tapi aku tidak mau, aku ingin mencoba membuat sendiri, jadi gimana Pak? Bantuin aku yaaa…” Kataku membujuk.
“Tentu saja.” Kata bapak. Tiba-tiba sapu lidi yang dipakai bapak jatuh tepat di atas sepatu bututku dan membuat kakiku terasa sakit sehingga membuatku berteriak. Tentu saja hal itu terlihat oleh bapak, bapak pun langsung sigap mengambil sapu lidinya untuk memindahkan gagangnya dari kakiku. “Sepatu Kamu rusak?” Tanya bapak tiba-tiba.
Oops… aku baru ingat sepatuku kan rusak.”Eh, iya, pak.” Jawabku sedikti terbata.
“Yasudah, nanti kita beli sepatu baru ya.” Kata bapak, tentu saja aku langsung menggeleng. Aku tidak ingin uang bapak dipakai untuk membeli sepatu baru untukku. “Loh, kenapa?” Tanya bapak.
“Gak apa-apa, kok, Pak.” Aku pun langsung mengubah topik pembicaraan. “Sekarang, Bapak cerita aja tentang lingkungan dan segala yang berhubungan dengan lingkungan.”
“Baiklah.” Bapak pun menceritakan pekerjaannya sebagai pembersih jalan, bagaimana ia membersihkan jalan, juga membedakan sampah organik dan non organik. “Banyak masyarakat yang sadar akibat dari membuang sampah sembarangan, tapi mereka malas. Itulah yang menyebabkan di kota-kota besar seperti Jakarta sering dilanda banjir, nah, untuk itulah makanya bapak selalu mengajarkan Kamu bagaimana memperlakukan sampah.” Kata bapak panjang lebar, dan aku menyimaknya dengan baik.
“Apa pak gubernur tidak bertindak, Pak?” Tanyaku.
“Siapa bilang? Pak gubernur kita, bapak Fauzi Bowo yang terkenal dengan kumisnya itu, sudah bertindak.” Kata Bapak sambil menatap sekitar.
“Contohnya apa?” Tanyaku lagi.
“Pemerintah sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan sampah ibukota, tapi warga Jakarta lebih mementingkan malas mereka dari pada kesehatan mereka. Kamu tahu slogan ‘bunaglah sampah pada tempatnya?” Aku mengangguk. “Bapak kurang setuju!” Kata bapak, aku pun heran. “Bapak lebih setuju membuang sampah pada tempat sampah.” Aku dan bapak tertawa bersama.
“Bapak bisa aja.” Kataku. “Oiya, Pak, bagaimana dengan budaya Jakarta?” Tanyaku berbeda topik.
“Sebenarnya kebudayaan betawi itu banyak, apalagi Indonesia tapi sayang, anak zaman sekarang kurang memperhatikan kebudayaannya sendiri mereka lebih suka meniru budaya asing yang terkadang malah membuat mereka lupa akan waktu mereka. Kapan-kapan, bapak akan ajak Kamu untuk menonton pertunjukan lenong dan makan kerak telor.” Kata bapak.
“Yang benar, Pak?” Tanyaku tidak percaya, aku senang sekali jika bisa melihat pertunjukan lenong dan makan kerak telor. Bapak mengangguk menjawab pertanyaanku.
Aku dan bapak akhirnya pulang bersama karena matahari sudah mulai turun ke arah barat.
Setiap hari aku jadi lebih sering pulang bersama bapak karena ingin mendengar penjelasan bapak mengenai lingkungan dan budaya Jakarta, lama-lama aku menjadi tertarik dengan lingkungan di sekitarku. Berdasarkan penjelasan bapak, aku tahu apa yang harus aku tuangkan dalam puisiku, tapi entah kenapa belum pas rasanya.
Tersisa tiga hari lagi bagiku untuk menyiapkan diri, aku juga sudah tahu apa yang harus aku bacakan. Hari ini, aku akan ke tempat bapak lagi untuk menujukkan puisi yang telah aku buat. Aku berjalan dengan tenang dan dengan perasaan gembira sampai-sampai tidak sengaja sepatu kiriku terbuka dan tertinggal di jalan, aku pun kembali untuk mengambilnya. Begitu aku berhasil mengambilnya, sebuah mobil berjalan dengan kencang menuju  ke arahku tiba-tiba terdengar juga suara bapak yang berteriak, tapi aku tidak tahu apa yang bapak bicarakan, badanku terasa kaku.
Aku terlempar keluar dari jalanan beraspal begitu saja, seperti ada yang mendorongku. Saat kesadaranku mulai pulih, aku melihat sesosok lelaki yang sedang tertidur di jalan beraspal dengan darah yang mengalir. Aku hampiri laki-laki itu, karena bagaimana pun juga dia telah menolongku bahkan menyelamatkanku dari maut.
Saat aku berada di sampingnya… badanku terasa begitu kaku, rasanya hampir sama seperti saat aku hampir tertabrak, bahkan aku tidak bisa merasakan apapun saat ini, aliran darahku serasa berhenti, dan air mataku keluar dengan sangat deras. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang aku lihat, apakah… apakah… benar… aku menangis dengan terisak. Aku langsung memeluk pria itu, tidak peduli darah membuat bajuku kotor karena bagaimanapun juga ia adalah ayahku.
Tiga hari kemudian
Setelah kejadian itu, aku merasa sangat terpuruk tapi aku tahu diriku tidak akan maju jika selalu terpuruk apalagi dengan kenangan masa lalu, itu yang dikatakan bapak padaku sehari sebelum ia pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Hari ini adalah saat dimana aku harus membacakan puisi. “Kinara Adiyawati.” Seorang mc memanggil namaku, dan aku pun harus maju. Aku maju ke atas panggung kemudian memberi salam dan barulah aku membacakan puisiku.
Ayam berkokok dan matahari baru muncul dari tempat peristirahatannya
Sebuah senyum hangat menyapaku
Senyum yang membuat perasaanku selalu tenang
Ayah, dia ayahku
Ayahku yang bekerja sebagai seorang pembersih jalan
Pekerjaan yang sering dianggap pekerjaan rendahan oleh orang-orang
Bahkan terkadang aku malu untuk mengakuinya
Bahwa ayahku adalah seorang pembersih jalan
Ejekkan dan celaan sudah sering aku dengar
Ya, hatiku memang sakit
Sakit sekali
Tapi, ia telah mengajarkanku bagaimana aku harus memperlakukan sebuah sampah
Sampah yang sering orang abaikan
Membedakan sampah, memperlakukan sampah, dan memanfaatkan sampah
Ia mengajarkanku semua itu hingga aku mengerti
Hingga aku sadar
Pekerjaan ayahku sangat mulia
Karena tanpanya jalanan akan terlihat kotor, bahkan sangat kotor
Aku bangga pada ayahku, ayahku sang pembersih jalan


19 tahun kemudian

Bagaikan mimpi, sekarang aku menempati rumah mewah. Sekarang aku memiliki dapur dengan peralatan yang lengkap dan kompor berbahan bakar gas. Semua yang aku dapatkan ini berasal dari didikanmu, ayah. Karena ajaranmu padaku mengenai lingkungan aku dapat menjadi seperti ini, aku dapat maju dengan berbekal ilmu darimu. Menteri Lingkungan Hidup, sekarang aku mendapat jabatan itu. Sepatu bututku, tas plastikku, sapu lidimu, dan pakaian oranyemu kini tersimpan di museumku, semua itu adalah pengingatku akan dirimu. Terimakasih atas didikanmu ayah.




Ini cerpen waktu ikut lomba tingkat JakPus

Karena Mimpi

“Seraaang!,” suara-suara kegaduhan yang kudengar saat ini. Orang-orang berseragam  putih abu-abu yang berada di sekitarku saling melempar batu, beberapa orang membawa benda-benda tajam. Para siswa SMA berlari ke sana sini, dan terlihat beberapa siswa yang terkapar  ke jalan dan darah segar mengalir dari badanya, sungguh mengerikan kejadian ini. Dan mengapa aku harus berada di tengah orang-orang ini?
            Rasa cemas mengerubungiku, keringat bercucuran dari badanku, jantungku berdegup kencang. Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang hingga tanpa sadar aku telah menyakiti diriku sendiri. Berada di antara orang-orang yang sedang mempertaruhkan nyawa mereka demi hal yang sia-sia bukanlah hal yang baik tapi hal yang sangat buruk. Jika aku berdiam di sini aku akan terluka, dan inilah saatnya mengambil ancang-ancang untuk ber, “lariii…,” ucapku dengan suara lantang, aku tidak pernah menyangka bahwa lariku bisa secepat ini jika dalam situasi gawat.
            Berlari dengan cepat membuatku hampir menabrak beberapa penghalang yang ada di depanku, termasuk orang ini. Seseorang dengan baju yang kotor dan benda tajam yang dibawanya membuatku tersentak kaget sehingga memaksaku untuk mengehentikan lari dengan tiba-tiba. Orang itu mendekatiku sambil menunjukan celurit yang ada di tangan kanannya, ia semakin mendekatiku, mendekat dan mendekat. Kejadian ini membuat jantungku berdegup tak beraturan. Mati aku. Ya Tuhan, selamatkan aku dari orang-orang ini. Tiba-tiba orang di depanku terjatuh, yang kulihat kepalanya berdarah! Kupikir ia terkena lemparan batu, dan itu berarti sekarang saatnya aku pergi dari sini. Secepatnya! Sebelum ada orang lain yang mencegatku lagi.
            “Hu…hu… untung saja,” aku membungkuk, meletakkan satu tanganku di lutut dan satu lagi di perutku yang terasa sakit akibat berlari. Kejadian ini cukup melelahkan bagiku dan membuat pikiranku kacau.
            Di saat seperti ini, pasti perutku lapar dan mengingatkanku pada aroma telur yang berpadu dengan ketan. Kerak telor buatan bapak. Hanya dengan membayangkan saja, aku sudah tahu bagaimana rasanya dan hanya dengan membayangkan saja dapat membuatku menikmati kelezatannya. Walaupun aku menginginkan kerak telor bapak, yang aku butuhkan sekarang adalah air!
            Tempat terdekat saat ini adalah toko kelontong milik koh Aliong. Toko yang bernuansa merah dan toko yang berpenjaga. Aku harus berjalan dengan hati-hati, bukan karena jalan setapak yang licin tapi aku takut akan membangunkan sang penjaga. Anjing bulldog milik koh Aliong.
            “Haiya… mau beli apa Kamu?,” ucapan koh Aliong yang tiba-tiba berhasil membuatku kaget hingga aku terloncat.
            “Ah, Ngkoh bikin kaget aja,” ucapku sambil mengelus dada dan mencoba berdiri. Setelah tubuhku berhasil berdiri tegak…
            “Guk… guk!,” anjing bulldog koh Aliong bersuara dan terdengar menakutkan bagiku dan karena itu usahaku menghindari anjing koh Aliong gagal!
            “, Tuh kan, Koh, anjingnya jadi bangun, Engkoh sih!,” aku menyalahkan koh Aliong atas kejadian ini! “Yaudah, aku mau beli botol air mineral ya, Koh,” aku mengambil botol air mineral dari kulkas warna merah yang merupakan warna favorit koh Aliong.
            Cara minumku yang seperti orang kesurupan tidak kupedulikan, yang kupedulikan hanyalah bahwa aku haus! Sangat haus. Setelah air dalam botol habis, aku baru menyadari bahwa bukan bajuku yang basah melainkan anjing koh Aliong yang sedari tadi memperhatikanku dengan lidah yang menjulur dan air liurnya mengalir, “iyeekh…,” menjijikan!
            “Ara kecapekan ya? Apa karena habis latihan nari topeng?,” tanya koh Aliong meledek, ia menggiringku untuk masuk ke tokonya.       Emm… tunggu! Menari bukanlah alasan bagiku untuk lelah, karena menari sudah menjadi bagian dalam hidupku, dengan menari aku dapat mengungkapkan perasaanku, dengan menari aku dapat berkarya, dan karena menari juga aku harus berbohong. “Bukan, Koh, tapi gara-gara tawuran!,” jawabku dengan ketus, bagaimana tidak? Karena tawuran, nyawaku hampir melayang.
            “Bagaimana, ada berita baru, Ra?,” tanya koh Aliong, pertanyaan koh Aliong berhasil membuatku semangat lagi! Sepertinya koh Aliong selalu tau apa yang baru saja terjadi pada latihan menariku, karena dugaannya benar! Guru tariku memberi kabar bahwa kelompok tari kami akan pentas.
            “Ngkoh tau aja,” ucapku sambil tersipu malu, aku pun menunjukkan gerakan-gerakan baru. Menggerakkan beberapa anggota badan untuk menari adalah kebahagiaan tersendiri untukku. Bagai melepaskan beban yang berat.
            Kegiatan menari ini tidak pernah terlihat oleh bapak dan ibu, hanya koh Aliong yang tahu. Aku sengaja sembunyi-sembunyi saat latihan karena jika mereka tahu, mereka pasti akan marah padaku, mereka tidak pernah mengizinkanku menari, yang mereka inginkan dariku adalah belajar dan belajar agar aku sukses. Untuk itulah aku terpaksa berbohong pada bapak dan ibu, berbohong bahwa aku pulang sore karena aku ada pelajaran tambahan. Sejujurnya, aku merasa bersalah karena membohongi mereka tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku ingin menari. Maafkan aku ayah, ibu!
            Sebenarnya aku tahu maksud ayah melarangku menari, ia ingin aku menjadi seorang pengusaha agar aku tidak hidup susah seperti sekarang. Pekerjaan ayah sebagai penjual kerak telor yang membuat ayah melarangku, hasil dari menjual kerak telor kurang cukup untuk memenuhi kehidupan kami. Dan ibu telah menjadi ibu rumah tangga terbaik yang pernah aku kenal, walaupun ibu juga tidak setuju tapi ibu selalu memberikanku motivasi untuk maju.
            Setiap hari, aku selalu pulang sore untuk latihan menari sampai hari ini. Berada di sebuah ruangan besar yang dindingnya dilapisi kaca di mana-mana, musik betawi yang mengalun membuatku bergerak melenggok-lenggokan badanku menyamakan dengan ketukan. Berada di ruangan ini seperti berada dalam sebuah dunia yang berbeda, dunia tanpa kesedihan dan kepedihan, yang ada hanya dunia seni yang indah.
            Latihan hari ini usai sekarang saatnya aku pulang ke rumah bukan ke toko kelontong milik koh Aliong yang berpenjaga menyeramkan itu. Semoga saja tidak terjadi tawuran lagi seperti seminggu yang lalu.
            Keluar dari ruangan tari membuatku kembali lesuh dan harus teringat akan kebohonganku lagi, kebohongan demi keinginanku. Apakah aku salah? Apakah aku durhaka? Aku memilih jalanku sendiri dan terpaksa membohongi kedua orang tuaku.
            Aku berjalan keluar, beberapa teman tariku mengucapkan selamat tinggal padaku, “sampai jumpa!,” balasku dengan senyum pada mereka. Aku membalik badanku dan saat itu juga senyumku memudar berganti dengan wajah takut, badanku terasa kaku tidak bisa bergerak, jantungku berdegup kencang seakan ingin copot, “Bapak,” ucapku begitu saja. Aku memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan tiba-tiba saja bapak menarikku ke tempat yang lebih sepi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak bisa mengelak lagi.
            “Sudah berapa kali bapak bilang bahwa Kamu tidak boleh ikut menari! Tapi Kamu masih tidak mau menuruti kata-kata bapak!,” bentak bapak padaku, aku yakin ia sangat marah padaku, aku sudah membohonginya!
            Aku membuka mulut untuk bicara tapi bapak mendahuluiku, “Kamu benar-benar kelewatan Ara! Bapak sudah mempercayai Kamu, tapi Kamu menghianati kepercayaan bapak! Bapak kecewa sama Kamu!,” kata bapak, . Kini aku semakin terdesak.
            Aku tidak bisa seperti ini, aku ingin bapak tahu, aku ingin bapak mengerti, “Maafin Ara, Pak, Ara tidak bermaksud membohongi Bapak atau pun ibu tapi Ara juga tidak bisa membohongi diri Ara sendiri kalau Ara ingin menari. Karena Ara merasa menari adalah diri Ara! Dengan menari, Ara merasa bebas, Ara merasa semua beban ini terasa ringan,” ucapku sambil terisak, air mataku mengalir deras.
            “Bapak tidak ingin Kamu menjadi penari! Bapak ingin Kamu menjadi pengusaha! Agar kita tidak terus terpuruk seperti sekarang ini!,” setelah mengucapkan kata-kata itu, bapak langsung pergi meninggalkanku sendirian. Setelah bapak pergi, tangisku pecah. Apakah aku salah jika aku ingin menjadi penari? Apa salah jika seorang anak penjual kerak telor menjadi penari?
            Aku berjalan pulang dengan lesuh, dan tidak menyadari bahwa sekarang adalah saat yang buruk. Batu-batu berterbangan di udara, hujan batu! Dan sesaat aku menyadari bahwa sekarang tawuran antar pelajar SMA sedang berlangsung. Aku seperti orang yang tak tau arah, fikiranku kacau, badanku terasa kaku tak bisa bergerak, apa yang terjadi? Ayo Ara lari! Lari! Kamu harus lari! Tidak. Tidak bisa! Aku tidak bisa berlari.
            “Duk!,” suara kencang yang terasa menyakitkan untuk kepalaku. Semua terasa bergoyang dan buram, kepalaku sakit. Kupegang kepalaku dan ternyata, darah. Ternyata suara itu adalah batu yang berhasil membentur kepalaku, dan semua menjadi gelap.
            Semua berwarna putih saat aku mulai membuka mata, dan aku tahu di mana ini. Rumah Sakit. Karena baunya aku tau, bau rumah sakit tidak bisa dibohongi. Kepalaku pusing, sangat pusing, dan langsung saja aku teringat peristiwa yang terakhir kali terjadi padaku. Kebohonganku terbongkar.
            Aku menggunakan mataku untuk melihat-lihat ruangan dan mataku tertuju pada seorang yang tak  asing bagiku, seorang yang aku bohongi. Bapak. Aku melihat bapak berbicara, tapi mengapa aku tidak mendengarnya. Aku mencoba dan mencoba agar aku bisa dengar tapi mengapa aku tidak bisa dengar, aku mencoba mengeluarkan suara, aku mencoba bertanya, “apa?,” dan bahkan aku tidak bisa mendengar suaraku. Sebenarnya ada apa ini? Apa aku tuli sekarang? Apa telingaku sudah tidak dapat berfungsi lagi?
            Setelah kejadian itu, duniaku sungguh berbeda, dunia yang sunyi, dunia yang sepi tanpa musik, musik yang dapat menggerakkan anggota badanku melenggak-lenggok bak penari profesional. Kini impianku pupus, impianku menjadi penari professional. Mungkin ini memang karma untukku karena telah membohongi kedua orang tuaku. Aku harusnya mematuhi mereka bukan membohongi mereka. Tapi aku tidak akan menyerah! Aku akan tetap menari! Bukan sembunyi-sembunyi tapi di hadapan mereka, aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku bisa walaupun tanpa mendengar musik sekalipun!
            Aku mencoba berlatih dan berlatih menari di hadapan mereka dengan menggunakan ketukan. Berkali-kali bapak mencoba menghentikanku dengan marah padaku, aku pun berhenti. Namun berkali-kali juga aku kembali menari, menari dengan senyuman walaupun bersamaan dengan keluarnya air mataku keluar. Aku tidak peduli! Aku ingin menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa! Dan akhirnya aku bisa. Aku dapat mengusai semua gerakan dan dapat menarikannya sesuai dengan ketukan.
            Hari ini adalah hari dimana aku harus menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa. Musik mulai mengalun, walaupun aku tidak dengar tapi aku tau karena teman-temanku member isyarat. Aku mulai memasuki panggung yang dipenuhi cahaya lampu. Lantai panggung terasa dingin di kakiku. Dilihat oleh banyak penonton adalah salah satu harapanku dan diantara penonton itu ada bapak dan ibu.
            Pertunjukan kami selesai, semua penonton memberi tepukan yang meriah untuk kami, aku merasa bangga pada diriku sendiri. Bukan karena aku berhasil menari dengan sempurna, tapi aku dapat membawa bapak dan ibu untuk melihat pementasanku, karena dengan kedatangan mereka semangatku untuk tampil lebih baik semakin tinggi. Terima kasih ayah, ibu.
             Saatku keluar dari panggung, aku dikejutkan akan kehadiran bapak dan ibu. Tiba-tiba mereka memelukku, sangat erat. Aku yakin mereka berbicara sesuatu padaku walaupun aku tidak dapat mendengarnya. Aku merasa bajuku basah, mungkin ini keringat yang mengucur karena tegang saat di panggung.
            Ibu dan bapak melepaskan pelukan mereka dan aku sadar, mereka menangis. Pantas saja bajuku basah. Tapi tak apa yang penting hari ini adalah hari terbahagiaku. Bapak menulis sesuatu di kertas, “BAPAK DAN IBU TIDAK AKAN MELARANGMU MENARI LAGI,” Dan saat ini aku sangat yakin, hari ini adalah hari dimana aku benar-benar dapat menghapus beban yang selama ini tersimpan di dalam hati dan juga fikiranku.
            Satu hal yang selalu aku ingat, mimpi. Dengan mimpi aku dapat meraih impianku.


21 Juli 2013

Namaku "Cantik"

Awalnya aku kaku, diam tak berkutik. Kemudian ia menyapaku, menanyakan namaku, aku diam. Aku takut jika ia mengetahui namaku, aku sendiri tidak tahu datang dari mana ketakutan itu. Ia terus mendesakku, tapi aku tetap diam.

Rasanya semakin berdebar, aku pun menggigit bibir bawahku dan menatap lantai yg terlihat hampa. Apa yang harus kulakukan? Memberi tahukan  namaku? Aku sendiri takut ketika menyebutnya. Nama yang sebenarnya tidak terlalu buruk, tapi kedengarannya klise.

"Harus kah aku yang memperkenalkan diri duluan?," aku menengok ke arahnya, laki laki itu tersenyum, terlihat manis dengan lesung pipi di kanan dan kirinya. Senyumnya seolah tidak dibuat buat.

Entah bagaimana rasanya aku juga ingin memperkenalkan namaku, ya Tuhan, senyum seperti sihir yang dengan mudah membuatku berubah pikiran.

"Namaku Yusuf," dia mengulurkan tangannya yang terlihat besar, ia tidak ragu saat melakukannya bahkan terlihat sangat bersemangat sekali, "jadi siapa namamu?" haruskah aku merobohkan tembok pertahananku ini? Membiarkannya tahu namaku dan ia akan menertawakanku?

"Namaku Cantik." Kataku akhirnya, aku benar benar tersihir oleh senyumnya, dah bahkan matanya yang terlihat berkilat. Dia diam, membuatku merasakan takut ia akan menertawaiku.

Ia terlihat sedang berpikir, senyumnya yang manis menjadi hilang, rasanya aku ingin senyum itu selalu ada di wajahnya. "Emm... cantik...," sepertinya ia mulai mengetahui sesuatu, karena senyumnya telah kembali, "jadi, Cantik, memang cantik," hantaman yang berbeda! Rasa yang seperti ini baru aku rasakan sekarang. Rasa yang yang membuatku berbeda. Aku pun memalingkan wajahku dari Yusuf, takut jika wajahku memerah. "Namamu Cantik sesuai ya, kamu cantik." Dan saat ini aku benar benar tidak bisa menyembunyikan senyumku darinya.

"Terima kasih, Kamu juga sama, namamu Yusuf, terlihat ganteng." Kataku dengan malu malu, dan dia pun tertawa. Ya Tuhan, biarkan ia tetap di sini.