Hai, kamu?
Aku gak tau, kamu itu siapa. Tapi jelas surat ini untuk kamu. Aku gak berani bilang siapa kamu itu, karena bagiku, kamu adalah rahasiaku.
Kalau aku boleh sekali saja memutar waktu, aku ingin kita tidak pernah bertemu. Karena aku tahu, akibat pertemuan itu kamu dan aku saling mengenal, kemudian kita saling menyakiti dan berpisah. Itu sakit.
Peremuan kita saat itu pun terbilang singkat, benar-benar singkat. Akan kubuat kamu mengingatnya kembali
Sore hari, angin yang cukup kencang berhasil membuatku berdiam di toko kecil pinggir jalan, dari perkiraan cuaca yang kudengar pagi tadi memang akan terjadi badai, tapi aku tidak mengira badainya bisa sedahsyat ini, berbicara dan membuka mata saja rasanya takut-takut.
Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu di toko kecil ini, aku tidak berani melawan angin kencang, bisa-bisa aku terbawa olehnya karena berat badanku juga ringan. Bisa kubilang, aku sangat kurus? Ya, teman-temanku bilang aku seperti papan yang tipis. Entahlah aku harus tersinggung atau tidak.
"Huaahh! Gue harus cepet-cepet nyampe rumah! Harus cepet!" Suara cempreng dan keras itu berhasil mengambil perhatianku. Anak perempuan seumuranku itu berlari sambil memgangi kantung-kantung plastik, seperti habis belanja. Karena aku memperhatikannya terus-menerus, ia menoleh dan tersenyum padaku.
"Hei! Cepet pulang anginnya kenceng!" katanya dan kemudian dia terbatuk.
"Haha, pasti. Hati-hati!" kataku, kemudian dia berlalu.
Lalu kemudian kita bertemu lagi, di tempat yang berbeda. Seminggu setelahnya kamu mengunjungi rumahku dengan tujuan ingin mengenal tetangga baru. Aku senang kita bisa bertemu lagi, tapi sepertinya tidak dengan kamu yang justru menampilkan wajah kusutmu saat bertamu di rumahku. Aku pikir kamu tidak suka aku, tapi ternyata wajahmu seperti itu karena kamu baru bangun tidur.
"Maaf ya, muka gue kusut banget. Nyokap tiba-tiba minta anterin ke rumah lo di saat gue lagi ngantuk-ngantuknya." Dia bercerita tanpa aku minta, kami berada di halaman belakang rumahku.
"Oiya, kenalin, gue Tya. Nama lo?" Ia mengulurkan tangannya.
"Gue Sena. Btw, lo cewek gue cowok. Tapi seakan lo menganggap gue cewek juga. Gue gak terima," kataku dengan nada tidak suka. Aku hanya bercanda.
"Hehehe, maaf, Sen, dulu gue sekolah asrama putri, ketemunya cewek-cewek terus, jadi terima nasib aja ya, tetangga baru?" Dia tertawa, menggemaskan.
"Udah biasa sih sama nyokap gue digituin, tenang aja. Btw lo gak apa-apa abis makin angin minggu lalu?" tanyaku dan dibalas tawa olehnya.
"Hahaha yaampun, lo harus tau gara-gara minggu lalu itu, badan gue merah-merah dikerokin, udah bisa jadi benderanya banteng kali tuh."
Dan setelah itu, kita berteman baik. Kamu sering berkunjung ke rumahku dan begitu sabaliknya. Sampai aku menjadi orang ketiga antara sepupumu dan pacarnya. Dan bodohnya aku yang hanya fokus pada dia.
"Sen, lo tuh terlalu melihat gue. Apa lo gak pernah coba sekali aja gak ngeliat gue dan coba liat yang lain? Dia nunggu lo, dia sabar sama lo. Gue yang merasa bersalah sama dia, Sen! Dan gue udah punya pacar, Sena! So, please, you must open your eyes and see!" Wajah Kamel memerah, aku tahu dia marah. Aku berhasil menjadi parasit dalam hubungannya.
"Tapi gue cuma mau lo, Mel. Gue sayangnya sama lo."
"Tapi gue sayang sama Arvin, Sen! Tolong hargain gue."
Kamu, Tya. Kamu pergi dan aku pergi. Semoga tujuan akhir kita sama.
Kamu, rahasiaku. Semoga kita bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar